'Tertawan' di Negeri Serumpun Sebalai (Bangka-Belitung Part 1)

Siapa sih yang tidak tertarik dengan keindahan pantai-pantai yang ada di Pulau Belitung? Apalagi setelah keindahan alam di pulau itu diekspos melalui film Laskar Pelangi yang membekas di hati banyak orang. Karena melihat keindahan alam di film itu, juga video klip Nidji dengan lagu Laskar Pelangi, saya juga tertarik untuk berlibur di sana.
Finally, kesempatan itu tiba. Saya bertemu dengan tanggal yang pas untuk berlibur ke Provinsi Bangka - Belitung di bulan Mei 2012. Pada kesempatan kali ini, saya berangkat bersama teman-teman saya, yaitu Arief, Puteri, Hudawi, dan teman baru saya, Winda.
Sebetulnya, tujuan utama saya adalah Pulau Belitung. Tetapi, untuk mempraktikkan peribahasa 'sambil menyelam minum air' dalam kehidupan sehari-hari (apasih?), saya dan teman-teman memutuskan untuk mampir dulu ke Pulau Bangka. Nanti, dari Bangka kami akan mengendarai pesawat kecil, yaitu pesawat Sky Aviation, menuju Pulau Belitung.

Pagi buta, saya dan teman-teman sudah siap terbang dari Bandara Soekarno Hatta menuju bandara Depati Amir, Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka. Sekitar pukul 9 pagi, pesawat kami sudah mendarat. Lalu, setelah sarapan pagi, dengan bantuan salah seorang teman kami di Bangka, kami mendapatkan sebuah kendaraan sewaan berikut driver-nya yang bernama Bapak Aliong. 
Karena Bapak Aliong adalah warga asli Bangka, dia banyak tahu tentang seluk-beluk Pulau Bangka. Dari mulai akulturasi budaya yang terjadi sejak zaman dahulu, kerukunan antaretnis yang majemuk, sampai cerita tentang pengasingan Presiden Soekarno di pulau ini. Jadi, perjalanan kami pun terasa sangat 'berisi'.

Destinasi pertama kami adalah Pantai Parai Tenggiri yang berada di daerah Sungailiat. Beruntung, langit sedang cerah-cerahnya. Matahari menyoroti kami seterik-teriknya. Memang sih panas. Tapi, apa artinya berkunjung ke pantai yang mendung? 
Pantai Parai sangat cantik. Batu-batu besar bertumpuk di sekitar pasir putih yang lembut. Kami bermain-main dan mengambil foto sepuasnya di pantai yang hari itu tidak terlalu banyak dipadati pengunjung.
Cuaca cerah dan terik membuat kami merasakan dahaga yang luar biasa. Lalu, kami memanfaatkan voucher soft drink gratis di salah satu restoran yang ada di sana sambil beristirahat melepas lelah.

Kami tidak bisa terlalu lama berada di Pantai Parai karena pukul 2 siang kami harus sudah kembali ke bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Tanjung Pandan, Pulau Belitung dengan pesawat pukul 3 sore.


Setelah puas bermain-main di Pantai Parai, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Tanjung Pesona untuk makan siang.
Sebelum sampai di Pantai Tanjung Pesona, kami mampir dulu ke kuil Dewi Kuan Yin di Kampung Jelatik, Kecamatan Sungailiat. Di kuil itu terdapat sebuah sumur yang konon airnya dapat mendatangkan rezeki dan kesehatan.
Di bagian tengah kuil terdapat altar yang dipergunakan untuk bersembahyang. Di situ juga ada semacam 'perangkat ramalan' yang bisa meramal nasib seseorang. Saya penasaran dan mencobanya. Lalu, dari hasil lembar batu, entah apa istilahnya, saya diminta mengeluarkan lidi dari sebuah kotak. Pada lidi itu terdapat tulisan yang bisa ditukar dengan sebuah 'kertas ramalan' (maaf, saya kurang paham istilah-istilahnya).
Di kertas ramalan saya, tertulis:

Malam makin larut cahaya pelita menerangi kegelapan yang sunyi senyap merenungkan kejadian segala masalah dan tekun menjaga keselarasannya. Di kelancaran terdapat kekeliruan, namun berupaya melaksanakan kebaikan. Hanya dupa pun bisa mengharukan hati para dewa dan mendapatkan imbalan.

Saya kurang paham maksudnya. Yang jelas, saya senang bisa berkunjung ke tempat yang cantik seperti kuil Dewi Kuan Yin ini.

Lalu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pantai Tanjung Pesona untuk menikmati hidangan makan siang.

Jika dibandingkan dengan Pantai Parai, Pantai Tanjung Pesona ini jauh lebih ramai. Di sepanjang pantai, wisatawan asik bermain air sambil menikmati sengatan sinar matahari yang terik. Saya, teman-teman, dan Pak Aliong duduk di salah satu kedai di bawah pohon. Di sana, kami menikmati hadangan makan siang sambil berbincang-bincang tentang banyak hal.
Bapak Aliong ini orangnya sangat friendly. Dia mau berbagi kisah apa saja. Saya jadi seperti sedang berbincang-bincang dengan Kakek atau Paman sendiri. Di sela-sela ceritanya, dia juga menyelipkan beberapa pesan atau petuah. Salah satunya, yang paling saya ingat adalah bahwa memilih pasangan hidup itu jangan terlalu pemilih, tetapi jangn juga terlalu buru-buru. Hehe...

Selesai makan siang, tibalah waktunya bagi kami untuk kembali ke Bandara Depati Amir. Pak Aliong mengambil jalan alternatif agar kami bisa sambil menikmati perjalanan. Dia juga mengajak kami untuk mampir di sebuah Pagoda besar di bukit Pantai Tikus, yang saat itu masih dalam tahap pembangunan. Ternyata, dari atas bukit, Pantai Tikus terlihat sangat cantik. Sayangnya, waktu kami terbatas. Jadi, kami hanya menikmati Pantai Tikus itu dalam waktu singkat dari atas bukit.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Pak Aliong bercerita juga bahwa Presiden Soekarno pernah diasingkan di pulau ini. Tadinya dia ingin mengajak saya yang memiliki ketertarikan pada sejarah Presiden Soekarno untuk singgah di rumah tempat pembuangan itu. Tetapi, sayangnya kami memang harus buru-buru ke Bandara.

Sekitar pukul 2.30 siang kami sampai di Bandara Depati Amir. Syukurlah pesawat belum berangkat. Tapi, ternyata pesawat ditunda keberangkatannya sampai besok siang karena ada masalah teknis. WHAT? Delay kok sampai 24 jam? Lalu, gimana dengan rencana kami ke Belitung? 
Saya segera mendatangi pihak penerbangan untuk meluapkan kemarahan karena saya merasa tertawan di Pulau Bangka ini. 

Syukurlah ada teman saya, Arief, yang berusaha menetralisir mood dan emosi saya yang tadi mendadak bergejolak.
Pihak penerbangan meminta maaf kepada kami dan memfasilitasi kami untuk bermalam di Hotel Aston sampai besok siang. Ya, mau bagaimana lagi. Mana mungkin kami memaksakan diri berenang ke Pulau Belitung, kan? Meskipun ada pelayaran kapal laut ke Belitung, setiap hari kapal itu hanya berlayar setiap pukul 1 siang dari Bangka.
Jadi, saya dan teman-teman kembali mengatur rencana. Malam ini sampai besok sore ada kesempatan beberapa jam untuk menjelajahi Kota Pangkalpinang.

***

Senja mulai memudar. Tak lama lagi malam akan merengkuh sekujur tubuh Pulau Bangka, dan  kami yang  masih bersantai-santai di hotel.
Setelah mandi dan salat Maghrib, kami berencana untuk makan malam di Pangkal Pinang. Kami mengendarai taksi dengan tarif Rp75000 sekali jalan. Ternyata, Hotel Aston tempat kami menginap cukup jauh dari pusat kota.
Setelah selesai makan, kami dijemput oleh kawan kami yang kebetulan bertugas di Pangkalpinang. Kami kembali ke hotel untuk beristirahat, karena keesokan harinya kami akan kembali berpetualang mengelilingi Pulau Bangka, sebelum beranjak terbang menuju Pulau Belitung..

***


Pendar pagi mulai menyapa. Saya berkeliling hotel sekadar melihat suasana sekitar. Kebetulan, di hotel tersebut ada sebuah taman yang cukup nyaman untuk dijadikan sebagai area jalan-jalan pagi. 
Teman-teman saya masih terlelap. Mungkin mereka kelelahan.




Sekitar pukul sembilan pagi, kami besiap-siap untuk kembali mengelilingi Bangka sekalian mencari oleh-oleh khas Bangka. Kali ini, Pantai Pasir Padi menjadi satu-satunya pilihan kami, karena pantai-pantai yang lain telah kami kunjungi kemarin siang.

Laut di Pantai Pasir Padi tidak secantik Pantai Parai, Tanjung Pesona, ataupun Pantai Tikus. Tetapi, tempat ini memiliki keunikan tersendiri, yaitu adanya batu-batu karang berwarna kemerahan yang membentang dari pantai sampai ke laut. Saat saya kunjungi, air laut di Pantai Pasir Padi sedang surut. Jadi, saya bisa melangkah jauh ke sebuah tempat yang biasanya tenggelam oleh air laut.
Sayangnya, di sela bebatuan karang tersebut saya menemukan banyak sekali sampah yang menjadikannya terlihat kurang indah.
Selama sekitar satu jam, kami berjalan-jalan di sekitar pantai. Setelah itu, kami beristirahat sambil menikmati hidangan semangkuk mie bakso dan air kelapa muda yang segar.
Setelah puas berjalan-jalan di sekitar Pantai Pasir Padi, kami segera kembali ke Pangkalpinang untuk berbelanja oleh-oleh. Oleh-oleh khas dari Bangka cukup beragam, dan yang paling khas adalah kerupuk kemplang yang biasa disajikan dengan sambal asam yang segar.

Setelah berbelanja oleh-oleh, tibalah saatnya bagi saya dan teman-teman kembali ke hotel untuk berkemas, dan melanjutkan perjalanan ke Bandara Depati Amir.
Akhirnya, usai sudah pengembaraan kami yang 'tertawan' selama semalam di Pulau Bangka, tempat ditawannya Presiden Soekarno.

Pesawat Sky Aviation yang akan kami tumpangi siap lepas landas. Tak sabar rasanya untuk segera terbang dan memijakkan kaki di ranah batu satam, negeri Laskar Pelangi, Pulau Belitung.

Comments

  1. Perjalanan yang menarik
    Mbak mau nanya kalo ke bangka, bagusnya ambil rute apa y mbak (laut/udara) untuk pelancong backpacker. kira kira harga hotel, taksi disana gimana
    terima kasih

    ReplyDelete
  2. bergantung lokasi, Bu. Kalau masih di Palembang, masih bisa jalur darat, lalu naik kapal. Kalau dari pulau lain ya lebih baik pakai pesawat.
    Taksi di sana agak susah. Adapun musti bayar jauh dekat Rp75000 (tahun 2012). Sekarang kurang tahu bagaimana.

    Btw, saya laki-laki.
    Terima kasih.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Amed Beach, Karangasem

Tak Ada Lumba-Lumba Hari Ini