Palangka Raya 'si Calon Ibu Kota'

Saya sempat mendengar kabar, entah kabar burung atau kabar angin, katanya ibu kota Indonesia akan dipindahkan ke Palangka Raya karena Jakarta sudah terlalu penuh a.k.a. crowded. Benar tidaknya, saya tidak paham. Yang jelas, saya sempat melancong ke kota tersebut dalam suatu perjalanan dinas kantor.

Kota Palangka Raya terletak di Provinsi Kalimantan Tengah. Kota yang mulai dibangun sejak 1957 di tepian Sungai Kahayan ini memiliki luas 2.678, 51 km2. 

Untuk sampai di kota ini, saya menempuh perjalanan udara yang memakan waktu sekitar 1 jam 40 menit. Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta, kami mendarat di Bandara Tjilik Riwut pada 26 Juni 2011.

Di Palangka Raya, saya tidak sempat bertandang ke objek-objek wisata yang ada di sekitar kota itu. Waktu yang singkat serta agenda pekerjaan yang cukup padat (buset, sok sibuk banget ya?), membuat saya harus pintar mencuri-curi waktu untuk sekadar melihat-lihat isi kota Palangka Raya.


Senja di Palangka Raya sangat indah. Dari kamar hotel, saya bisa melihat dengan jelas matahari perlahan tenggelam di batas horison. Perlahan, cahaya langit mulai surup, lalu perlahan mulai bersembunyi di balik dekapan malam.
Di malam hari, kota ini cukup sunyi. Lampu-lampu penerangan di jalanan membuat saya, yang sehari-hari hidup dengan gemerlap lampu kota, merasa asing dan kurang nyaman. Apa lagi setelah melihat plang petunjuk jalan yang bertuliskan 'Sampit'. Saya jadi ingat peristiwa memilukan yang tidak boleh terulang lagi di Sampit pada 2001.

Berdasarkan pengamatan saya di jalur yang sempat saya lalui, Kota Palangka Raya tertata dengan sangat rapi. Lalu-lintasnya pun tergolong tertib. Berbeda dengan Jakarta yang macet dan kadang bikin emosi, tapi tetap saja kami huni ini. Hehe...
Ada pemandangan menarik di setiap pom bensin yang saya lalui. Mobil-mobil antre berkilo-kilo meter untuk mendapatkan bahan bakar. Waah... menurut keterangan mas driver yang mengantarkan saya dan rombongan ke sana ke mari, mereka bisa antre berjam-jam, bahkan berhari-hari sampai mobilnya harus ditinggal di antrean. Ternyata, di sana terkadang ada orang-orang yang sengaja membeli bahan bakar, lalu dijual kembali untuk dipergunakan oleh kapal-kapal di pelabuhan.

Rumah adat khas di Palangka Raya adalah Rumah Betang. Saya sempat berkunjung ke situ dan berfoto bersama teman. Unik dan menarik. Saya ingin sekali memiliki minatur Rumah Betang itu, tapi sampai saat-saat menjelang kepulangan ke Jakarta, saya tidak menemukan toko souvenir yang menjual benda semacam itu.



Setelah selesai bertugas, saya bersiap kembali ke Jakarta. Tidak lupa saya membawakan oleh-oleh yang saya beli di Jalan Batam untuk keluarga dan teman-teman. 

Comments

Popular posts from this blog

Ngadem di Curug Cijalu, Kabupaten Subang Jawa Barat

'Tertawan' di Negeri Serumpun Sebalai (Bangka-Belitung Part 1)

Tak Ada Mendung di Pulau Tidung