Lanskap Biru di Sepanjang Donggala

Rasanya tak ada yang dapat menggantikan kepuasan menikmati keindahan alam yang disajikan oleh lanskap permadani indah yang menghampar di seluruh Indonesia. Salah satunya adalah keindahan alam yang dapat dinikmati di sekitar pantai. 
Semua orang pasti senang mengunjungi pantai. Hamparan laut biru yang berkolaborasi dengan pasir putih ciptakan nuansa damai yang dipercantik deretan pohon kelapa. Sesekali, embus angin dan suara debur ombak ciptakan irama yang semakin dibuat mantap oleh suara burung. Hal itulah yang membuat orang selalu rindu untuk bertamasya di pantai. 

Salah satu pantai terbaik yang dimiliki Nusantara adalah Pantai Tanjung Karang, dan saya beruntung karena punya kesempatan untuk mengunjunginya, walau hanya beberapa jam.
Pantai berpasir putih ini terletak di Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Perpaduan antara pasir putih dan terumbu karangnya yang begitu menawan membuat Pantai Tanjung Karang semakin kuat memamerkan pesonanya. 

Untuk dapat menikmati keindahan memukau dari Pantai Tanjung Karang ini, kita perlu terbang ke Sulawesi Tengah dan mendarat di Bandara Mutiara, Kota Palu. Dari kota yang memiliki oleh-oleh khas bawang goreng ini, kita harus menempuh perjalanan darat sepanjang 34 km, dengan lama perjalanan sekitar 1 jam.
Beruntung, saya dan seorang teman saya mendapat tugas dari kantor selama 4 hari di Kota Palu. Jadi, di hari keempat, yaitu tanggal 9 November 2011, setelah pekerjaan kami selesai, sambil menanti pesawat sore menuju Jakarta, kami manfaatkan untuk mampir di Pantai Tanjung Karang, Donggala. 

Malam terakhir di Kota Palu, kami menginap di Garuda Homestay, Jalan Garuda, Gang Manasang, Kota Palu. Sebelumnya, kami menginap selama dua malam di Grand Duta Hotel yang berada tepat di depan pantai Talise. 
Malam itu, setelah makan malam di pinggir laut bersama teman-teman sekantor lainnya, saya dan teman saya kembali ke penginapan untuk beristirahat. 

Besoknya, sekitar pukul 9 pagi, mobil rental yang saya pesan melalui resepsionis penginapan, tiba tepat waktu sesuai dengan permintaan. Saya dan teman saya berangkat menuju Donggala sambil check out, karena khawatir tidak cukup waktu menuju bandara di sore hari.
Setelah selesai packing dan menuntaskan urusan administratif, dengan ditemani oleh seorang driver, kami berangkat menuju Tanjung Karang, Donggala.

Di antara Palu dan Donggala, ada satu tempat yang tidak boleh dilupakan. Jembatan Palu IV yang membentang di atas Teluk Talise. Jembatan ini terletak di kelurahan Besusu dan Lere yang menjadi penghubung Kecamatan Palu Timur dan Palu Barat. Jembatan yang merupakan jembatan lengkung pertama di Indonesia ini memiliki warna kuning yang khas. Sangat cantik jika dilihat di malam hari. Beberapa warga sekitar menyebut jembatan itu dengan nama salah satu merk restoran makanan cepat saji yang terkenal. Hal itu terjadi karena bentuknya yang menyerupai huruf 'M'. 

Setelah melewati jembatan itu, kami memarkirkan mobil di pinggir jalan. Lalu, saya dan teman saya berjalan kaki naik kembali ke atas jembatan untuk mengambil gambar. Tak lama kemudian, kami melanjutkan perjalanan yang disuguhi pemandangan-pemandangan yang cukup menarik.

Dari Palu menuju Donggala, saya dan teman saya disuguhi pemandangan yang menurut saya sangat menakjubkan. Selain pemandangan Teluk Talise dengan permukaan air laut yang tenang, mata kami dimanjakan oleh pemandangan hijau bukit-bukit dan pepohonan. Perjalanan pun terasa sangat nyaman karena mobil yang kami tumpangi meluncur di atas jalan beraspal yang mulus.

Sesampainya di Donggala, kita dapat melihat langsung pelabuhan Donggala dihinggapi bangunan-bangunan tua. Berdasarkan literasi yang pernah saya baca, dahulu Donggala adalah pusat pemerintahan kolonial Belanda. Jadi, Donggala ini merupakan salah satu pintu masuk perdagangan dengan bangsa asing.

Setelah menikmati perjalanan yang tak hentinya menawarkan kejutan-kejutan, saya semakin takjub melihat hamparan laut biru yang membentang di hadapan pasir putih Pantai Tanjung Karang. 

Pohon kelapa berderet rapi. Daunnya bergoyang ditiup angin. Cuaca memang panas menyengat, tetapi udara terasa segar dan menyenangkan. Aroma khas laut bersemilir berpadu dengan lanskap biru yang cantik. Iseng, saya menyentuh pasir yang tampak sangat putih. Pasir itu terasa lembut di tangan. Lalu, pandangan mata saya berlayar ke lautan. Saya sapu setiap sisi yang nampak di depan mata. Beberapa kapal pesiar mengapung di atas permukaan laut yang biru jernih itu. Beberapa detik saya memejamkan mata dan menghirup udara segar yang sangat mustahil bisa saya rasakan di Jakarta.

Beberapa saat kemudian, driver kami mengajak kami untuk mampir di Prince John Resort. Salah satu resort yang memang desediakan untuk wisatawan. Sepertinya tempat yang kami kunjungi ini didominasi oleh wisatawan asing.
Awalnya, saya dan teman saya berencana berolah raga diving. Tetapi, di situ saya baru tahu bahwa untuk melakukan diving, kita harus memiliki lisensi. Sementara, lisensi itu baru bisa kita dapatkan setelah melalui serangkaian proses latihan yang panjang. 
Kemudian, snorkeling menjadi satu-satunya pilihan, mengingat waktu kami di sana tidak banyak. Kami menyewa seperangkat alat snorkeling, yang terdiri atas pakaian renang, snorkel, dan fin seharga Rp100.000/paket. Cukup mahal sebetulnya. Tetapi, tidak mengapa, karena saya pikir, belum tentu saya bisa kembali lagi ke tempat ini dalam waktu dekat. Lagipula, kami tidak diberi batasan waktu. Selain itu, untuk masuk ke area resort itu, kami sama sekali tidak dipungut biaya.
Tadinya, saya pikir, kami harus menumpang kapal atau perahu untuk sampai ke tengah laut. Tapi ternyata tidak. Kami bisa langsung berenang dari pantai untuk menikmati keindahan terumbu karang yang ada di sana. Sayangnya, di sana tidak ada peenyewaan alat-alat fotografi yang menyediakan housing kamera untuk aktivitas pemotretan di dalam air. Padahal, terumbu karang di sana cukup bagus dan masih alami. 
Ikannya pun cukup banyak, walaupun saya yakin ada spot lain yang lebih keren di tengah lautan sana.

Setelah berganti pakaian dan memakai perlengkapan yang dibutuhkan, saya dan teman saya langsung menuju garis pantai dengan warna laut yang biru menggoda. Tak lupa, abang-abang driver-nya pun kami ajak untuk ikut snorkeling.

Sesampainya di garis pantai, saya segera menyusul teman saya yang sudah nyebur duluan ke laut. Perlahan-lahan saya berenang mengelilingi area terumbu karang. Di tengah-tengah wisata terumbu karang itu, saya baru sadar kalau saya berenang bebas tanpa pelampung. Padahal, dalam kegiatan snorkeling sebelumnya, di Kepulauan Seribu, saya berenang memakai pelampung karena takut tenggelam. 

Saya dan teman saya berpencar, mencari keasikan sendiri-sendiri. Sampai pada akhirnya saya merasa lelah dan segera menepi di sisi lain pantai Tanjung Karang itu. Tak lama kemudian, teman saya menyusul.
Kami beristirahat sebentar di bawah pohon-pohon yang rindang sambil foto-foto enggak jelas. Hahaha. 
Setelah itu, berbeda dengan teman saya yang tahan beraktivitas di bawah terik matahari siang itu, saya menyerah dan memilih duduk-duduk di bawah pondok beratap daun kelapa. Sementara, teman saya melanjutkan aktivitasnya bermain-main dengan air dan terumbu karang, entah sampai area mana.


Matahari siang semakin menyengat. Saya hampir ketiduran menunggui teman saya kembali. Suasananya sungguh asik. Tidak terlalu ramai, cerah, angin berembus sepoi-sepoi, juga suara ombak kecil yang terdengar samar. Beberapa kapal masih mengambang di atas laut biru. Beberapa di antaranya ada yang baru tiba dan ada juga yang akan pergi membawa wisatawan. Saya melihat beberapa wisatawan lengkap dengan pakaian diving-nya. Iri rasanya melihat mereka berkesempatan untuk diving di sana. 

Di sekeliling saya, ada beberapa penginapan yang sepertinya sangat pas untuk dijadikan tempat beristirahat. Ada juga restoran yang menyajikan berbagai hidangan khas. 
Beberapa saat kemudian, teman saya yang sudah puas bermain-main air pun kembali. Kami segera berbilas membersihkan diri, lalu bersiap untuk meluncur ke Bandara Mutiara untuk kembali ke Jakarta.
Sebetulnya, saya masih ingin berlama-lama di tempat itu. Tapi sayang, kami kehabisan waktu. Mau tak mau, saya dan teman saya harus segera ke bandara dan pulang menuju Jakarta yang tentu saja sangat berbeda dengan Donggala.
Sekitar satu jam kemudian, kami pun sampai di Bandara Mutiara. Karena fokus pada waktu yang terus memburu, saya lupa mengajak teman saya makan siang. Padahal, tadi kami sempat merencanakan untuk menyantap makanan khas Palu yang disebut kaledo. Dan akhirnya, kami hanya mengganjal perut dengan se-cup mie instan seduh. Hiks.

Sekitar jam 4 sore, pesawat lepas landas. Dari jendela, saya melihat hamparan laut biru yang cantik di teluk Palu. Walaupun entah kapan, saya menanam keyakinan bahwa kelak saya bisa kembali ke tempat itu, tentu saja dalam kesempatan yang lebih spesial. Benar-benar liburan, bukan saat bertugas, sehingga bisa menikmati wisata sampai puas. 

Nah, itulah wisata singkat saya dengan seorang teman di Pantai Tanjung Karang, Donggala, Sulawesi Tengah. ^^

Sumber gambar: dokumentasi pribadi Ighiw & Rivan

Comments

Popular posts from this blog

Ngadem di Curug Cijalu, Kabupaten Subang Jawa Barat

'Tertawan' di Negeri Serumpun Sebalai (Bangka-Belitung Part 1)

Tak Ada Mendung di Pulau Tidung