Lost in Lawang Sewu
Spooky. Itulah kesan pertama saya setiap mendengar orang menyebut Lawang Sewu. Mungkin karena saya mendengar nama itu di salah satu acara horor televisi. Jelas, otak saya langsung bermain-main di area horor setiap kali mendengar nama itu. Dan, saya nggak nyangka bisa berani-beraninya bertandang ke tempat itu sendirian.
Tanggal 4 Juli 2010, untuk kali pertamanya saya terbang dengan pesawat udara. Tujuan saya hari itu adalah Kota Semarang. Waktu tempuh Jakarta - Semarang dengan pesawat udara hanya 45 menit. Jadi, belum sempat menyantap hidangan yang disediakan pramugarinya, tahu-tahu pesawat sudah hampir mendarat.
Saya bukan sengaja datang ke Semarang untuk mendatangi Lawang Sewu lho. Waktu itu, saya sedang melaksanakan perjalanan dinas selama 3 hari. Jadi, di sela-sela tugas itu, saya menyempatkan diri berjalan-jalan sendirian di Kota Semarang.
Sekitar jam 2 siang, saya mendarat di Semarang. Kemudian, saya dijemput oleh salah satu teman sekantor yang kebetulan ditempatkan di perwakilan Semarang. Namanya Mas Putra.
Dengan mengendarai sepeda motor, Mas Putra mengantar saya ke hotel Horison Semarang, yang terletak di depan bunderan Simpang Lima. Setelah check in, Mas Putra segera pamit karena ada urusan. Sementara, saya segera rebahan dan beristirahat sejenak.
Sekitar jam 4 sore, saya memutuskan untuk berjalan-jalan, sekadar melihat-lihat suasana kota Semarang. Kebetulan di lapangan Simpang Lima sedang ada acara semacam parade musik. Jadi, saya menyempatkan diri untuk singgah di sana, mendengarkan musik band, yang sebenarnya berisik tak karuan, sambil menikmati seporsi tahu gimbal. Tahu gimbal ini adalah salah satu makanan khas Semarang. Bahan-bahannya hampir sama dengan Kupat Tahu Petis di Bandung atau Ketoprak di Jakarta. Tetapi, ada sedikit perbedaan pada porsi tahu dan kerupuk yang disajikannya.
Ternyata, Semarang itu panas. Mirip seperti Jakarta dan Cirebon, tapi tentu saja ada kekhasan atmosfir suasananya. Beruntung, saya berjalan-jalan di sore hari sehingga tidak terlalu kepanasan.
Setelah melahap habis tahu gimbal, saya melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkutan umum ke arah Lawang Sewu yang ada di depan Tugu Muda Semarang. Fiuh, akhirnya, sampailah saya di depan bangunan yang konon sarat akan cerita-cerita mistis yang terus terjaga dari masa ke masa. Cerita-cerita itu makin terkenal dan membumi karena peranan media-media sosial yang cukup banyak membagi kisah tentangnya. Hal itu jugalah yang membuat saya penasaran untuk menyempatkan diri berkunjung ke tempat itu.
Setelah membeli tiket masuk, saya segera melangkah masuk ke dalam bangunan tua yang menurut saya sangat indah ini. Suasana pengap dan lembap mulai terasa menyergap. Perlahan, saya raba dinding gedung ini. Kekokohan khas bangunan-bangunan zaman Belanda memang sangat terasa. Melihat arsitektur di sekeliling saya pun, nuansa Eropa-nya sangat terasa.
Beberapa bagian gedung sudah dihinggapi lumut. Catnya sudah mulai terkelupas. Di beberapa bagian, ada terpal biru membentang. Ternyata, gedung itu sedang direnovasi. Syukurlah, ternyata gedung antik ini masih mendapat perhatian berupa perawatan.
Arsitek keren yang mendesain gedung ini adalah Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Ouendag. Seluruh proses perancangan gedung ini dilakukan di Amsterdam, Belanda pada 1903. Setelah selesai, barulah gambar-gambar rancang bangunnya dibawa ke kota Semarang.
Tapi, entah sejak kapan, cerita-cerita menyeramkan berkembang di masyarakat. Apalagi konon, Lawang Sewu sempat dijadikan tempat penyiksaan di zaman perang. Ya, never mind-lah ya. Yang jelas, bangunan cantik ini saya haramkan untuk diganti dengan mal-mal seperti yang sempat terjadi di kota-kota lain. Hohoho. (Buseeet, haram).
Hari nyaris senja. Matahari mulai redup. Saya berkeliling di dalam bangunan tua itu. Seru juga sih. Spooky spooky gimana gitu. Jujur saja, melihat langit yang semakin gelap, ada perasaan serem juga berlama-lama di tempat itu. Apalagi jika saya ingat tayangan-tayangan horor di televisi tentang Lawang Sewu ini.
Beberapa pengunjung ada yang sempat membuat kegaduhan saat sedang berfoto bersama. Ada juga yang jalan-jalan sendiri, seperti saya yang sibuk mencari tempat pijakan kamera saat akan mengambil foto sendiri. Hehe.
Berbagai benda-benda unik, seperti uang kuno, kalung-kalung yang liontinnya terbuat dari uang kuno, dan sebagainya. Saya membeli satu buah kalung yang terbuat dari uang kuno zaman penjajahan Jepang.
Hari semakin gelap. Saatnya saya pergi meninggalkan gedung yang penuh sejarah ini. Sebetulnya, saya penasaran dengan ruangan penjara bawah tanah yang katanya digenangi air. Tapi, saya tidak mau bertempur dengan rasa parno. Jadi, saya segera melangkah mencari jalan keluar.
Tapi, bukannya langsung sampai di pintu keluar, saya malah 'tersesat' dan sampai di lantai atas. Tepat di hadapan kaca mozaik yang tersusun indah dengan gambar dekoratif yang khas. Ya, daripada pusing sasar-sasaran, saya berhenti sejenak untuk menikmati gambar mozaik itu.
Tak lama kemudian, ada seorang anak kecil berlari melintasi saya, lalu berlari ke arah pintu yang mengarah keluar. Saya ikuti anak itu, dan sampailah saya di balkon atas gedung. Saya sempat bingung karena anak kecil yang tadi berlari-lari dan sempat saya foto, tidak ada di balkon itu. Pikiran saya sudah mulai macam-macam. Tapi syukurlah, ternyata anak itu keluar dari pintu lain. Dia dengan anak lain yang sebaya sedang bermain kucing-kucingan.
Dari balkon, saya menikmati langit senja yang jingga keunguan. Dari situ, saya melihat view taman tugu muda yang mulai didatangi oleh beberapa remaja Kota Semarang.
Di situlah saya memutuskan untuk segera keluar sebelum hari benar-benar gelap. Beruntung, ada beberapa pengunjung yang akan keluar juga. Saya mengikuti mereka keluar dari gedung yang megah itu dan terkesan misterius itu.
Di bagian halaman Lawang Sewu terdapat sebuah lokomotif tua peninggalan zaman Belanda. Lokomotif jenis C 2301 itu adalah lokomotif buatan Jerman pada 1908. Lokomotif tersebut menjadi penanda bahwa Gedung Lawang Sewu yang dibangun pada 1908 merupakan Gedung Nederlandsch Indishe Spoorweg (NIS), perusahaan kereta api pertama di Indonesia.
Setelah cukup puas melihat-lihat Lawang Sewu, saya menyebrangi jalan dan singgah di Lapangan Tugu Muda. Di bagian tengah lapangan ini ada sebuah tugu yang dibangun untuk memperingati kepahlawanan pejuang-pejuang Semarang yang gugur dalam Pertempuran Lima Hari, pada bulan Oktober 1945 di Semarang.
Tugu Muda yang diresmikan pada 1953 ini didesain oleh Salim, sedangkan ukiran relief yang ada pada tugu dikerjakan oleh seorang seniman bernama Hendro.
Taman yang mengelilingi tugu tertata dengan rapi. Selain itu, di bagian puncak tugu, ada lam
pu yang membuat tugu terlihat indah dan menarik.
Di sekeliling tugu, cukup banyak juga remaja Semarang yang berkunjung sekadar foto-foto dan ngobrol-ngobrol. Sayangnya, ada beberapa di antara mereka yang duduk mesra-mesraan. (Haha. Iri? Wew)
Adzan Maghrib pun berkumandang. Saya segera menyebrangi jalan, lalu menumpang angkutan kota yang mengarah ke Simpang Lima. Saya menyempatkan diri salat Maghrib di Masjid Agung Kota Semarang yang ada di depan Simpang Lima, lalu hunting makan malam. Salah satu incaran saya adalah warung pecel Mbok Sador yang terletak beberapa meter dari Simpang Lima. Tetapi, saya baru sempat menikmati hidangan nasi pincuk dengan aneka lauk itu pada malam berikutnya.
Setelah puas bejalan-jalan, walaupun jaraknya dekat, saya segera kembali ke hotel untuk beristirahat karena keesokan harinya saya harus melaksanakan tugas saya.
^^
Comments
Post a Comment