Tak Ada Mendung di Pulau Tidung
"...It's something unpredictable but in the end It's right,
I hope you've had the time of your life.."
Lagu Time of Your Life-nya band Greenday itu terus saya putar dengan handphone di sepanjang perjalanan dari Muara Angke menuju Pulau Tidung di Kecamatan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.
Kali ini, saya dan belasan teman-teman saya, juga puluhan penumpang lainnya, menumpang sebuah kapal kayu dua lantai, dan harus menempuh perjalanan laut selama 3,5 jam.
Ini adalah kali pertama bagi saya mengendarai kapal dalam waktu yang cukup lama. Awalnya, saya tak yakin bisa bertahan dari ancaman mabuk laut. Tapi ternyata saya bisa melalui perjalanan ini dengan baik. Ternyata, duduk di atap kapal dan memandang ke lautan luas bisa membantu saya untuk mengurangi mabuk laut.
Pada perjalanan kali ini, saya pergi bersama Vian, Arief, Naupal, Hudawi, Agus, Fietri, Sri, Puteri, Gita, Edo, Iklima, Sasmito, Aat, Dwi, Inar, dan Ririn.
Ada hal yang cukup menarik bagi saya dalam perjalanan laut ini. Saat kapal melaju dari Muara Angke sekitar pukul 7 pagi, saya amati laut di sekeliling kami berwarna hitam. Sampah-sampah plastik mengapung di mana-mana. Jakarta oh Jakarta....
Tetapi, satelah cukup jauh dari sekitar Jakarta, air laut berangsur-angsur membiru. Bergradasi dan cukup membuat hati jadi cerah. Selain itu, saat kami menunggu keberangkatan kapal, langit cukup mendung. Ya, sejak subuh, hujan gerimis berjatuhan dan membuat saya malas bangun. Jika tidak ingat pada rencana seru saya dan teman-teman yang sudah dirancang sejak beberapa minggu sebelumnya ini, pastilah saya akan melanjutkan tidur sampai matahari menggelantung tinggi menertawai. Tetapi, setelah menjauh dari Jakarta, saya merasa seperti sudah pindah ke belahan dunia yang lain karena melihat langit yang mendadak jadi biru cerah.
Setelah melintasi beberapa pulau, akhirnya saya dan teman-teman sampai juga di Pulau Tidung yang akhir-akhir ini sering saya dengar keistimewaannya. Ternyata, setelah saya amati, pantainya cukup bagus. Lautnya juga biru cerah. Bahkan, beberapa spot terlihat berwarna kehijauan. Jelas, sangat berbeda dengan pantai di utara Kota Jakarta. Ya, syukurlah, ternyata DKI Jakarta masih memiliki kekayaan berharga berupa laut yang masih bersih dan jernih.
Setelah turun dari kapal, seorang guide memandu kami berjalan menuju penginapan. Penginapannya berupa sebuah rumah yang terdiri atas beberapa kamar dan ruang tengah yang sangat besar. Saya pikir cukup kok untuk tarif Rp400.000 yang mencakup semua fasilitas yang akan kami dapatkan. Perjalanan pulang-pergi dengan kapal, penyewaan kapal kecil berikut peralatan snorkeling, penginapan, makan sehari tiga kali, plus sepeda yang bisa dipergunakan untuk berjalan-jalan mengelilingi pulau.
Kami beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa lelah karena perjalanan laut yang cukup 'bergelombang'. Setelah salat Dzuhur dan makan siang, kami segera bersiap-siap untuk wisata snorkeling di hamparan terumbu karang yang cantik dan dipenuhi ikan-ikan unik.
Masing-masing peserta sudah siap dengan pelampung, snorkel, dan fin masing-masing. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah sunblock untuk melindungi kulit dari sengatan sinar matahari siang itu.
Untuk sampai ke area snorkeling, kamu harus menempuh perjalanan sekitar 30 menit dengan kapal motor kecil. Saya benar-benar menikmati perjalanan ini. Di sekeliling kami, laut yang biru bersemburat hijau terhampar luas dan enak dipandang mata. Seperti biasa, saya iseng merekam momen ini dengan fasilitas video di kamera digital saya.
Sesampainya di area snorkeling, kami langsung nyebur dan menikmati keindahan terumbu karang. Saya dan beberapa teman yang baru pertama kali snorkeling tentu saja sangat bersemangat karena dibaluti oleh euforia.
Terumbu karang di sekitar Pulau Tidung ini masih cukup sehat, walaupun tidak seberaneka ragam tempat-tempat lain yang legendaris seperti Bunaken dan Raja Ampat. Ikan-ikan cantik lalu-lalang di sekitar saya dan teman-teman. Di tempat ini, ikan yang paling sering saya lihat adalah sejenis Pasific Blue Tang, ikan yang jadi sahabatnya Nemo di film finding Nemo.
Sesekali saya merasa ada sengatan-sengatan kecil saat sedang berenang. Rasanya perih seperti digigit semut. Tapi, sampai sekarang saya belum tahu kenapa, dan saya masih berasumsi itu adalah reaksi dari kulit yang bersentuhan dengan air laut.
Setelah puas snorkeling di dua spot berbeda, kami segera kembali ke kapal, lalu meluncur menuju Pulau Payung Besar untuk beristirahat dan ngemil sore. Di pulau ini, banyak sekali terdapat penjual makanan. Laut di sekitarnya pun biru kehijauan. Jadi, ngemil sore sambil menikmati pemandangan laut yang indah merupakan salah satu pilihan tepat untuk dilakukan di tempat ini.
Dari Pulau Payung Besar, perahu yang kami tumpangi segera membawa kami kembali ke Pulau Tidung. Masih jam setengah lima sore, ada waktu sekitar satu jam untuk bermain-main di sekitar Jembatan Cinta. Jangan tanyakan saya, kenapa namanya Jembatan Cinta ya. Hehe.
Di sekitar jembatan cinta ada banyak sekali wahana yang layak dicoba. Ada banana boat, cano, dan ada wahana gratis, yaitu melompat dari atas Jembatan Cinta dengan ketinggan sekitar 7 s.d. 10 meter.
Beberapa teman saya sudah melompat dari atas jembatan itu secara bergantian. Tentu saja saya jadi penasaran ingin mencoba juga. Tetapi, saya harus bertempur dulu dengan rasa takut yang menyebalkan. Sesampainya di atas jembatan, saya merasa diri saya terbagi menjadi dua sisi. Satu sisi begitu kuat ingin melompat, tetapi di sisi lain, saya ingin berontak agar tidak jadi melompat. Akhirnya, setelah berkali-kali batal melompat dengan adegan yang mirip seperti dalam serial Mr. Bean episode melompat di kolam renang, akhirnya saya melompat..... dan ketagihan. Yups, ternyata sangat mengasikkan.
Setelah itu, saya dan teman-teman bermain banana boat. Permainan yang sekarang sudah menjadi hal yang tidak aneh lagi ini, memang sangat menyenangkan, apalagi jika dimainkan dengan keluarga atau sahabat kita.
Lalu, tak terasa keriangan di benderang hari harus usai seiring dengan terbenamnya matahari. Tetapi, bukan berarti setelah malam nanti tak ada keriangan yang menyelimuti saya dan teman-teman.
Dari area Jembatan Cinta, kami kembali ke dermaga, masih dengan kapal yang sama. Setelah itu, kami pulang untuk bersih-bersih dan istirahat sejenak, lalu makan malam bersama di penginapan.
Sekitar satu jam setelah makan malam, saatnya acara panggang ikan. Tour guide kami ternyata memfasilitasi kami dengan sepeda. Dengan sepeda itulah kami meluncur berbondong-bondong menuju suatu area kebun untuk bakar ikan. Yummy.
Setelah acara bakar ikan selesai, kami pun kembali ke penginapan. Ada yang langsung beristirahat, ada yang ngobrol-ngobrol dulu, sementara saya menyempatkan diri jalan-jalan di sekitar perkampungan Pulau Tidung. Setelah puas dan pegal kaki, saya kembali ke penginapan, lalu merebahkan diri di samping teman-teman saya yang sudah ngorok, dan... ZZzzzzzzzzzzZZZZz.....
Hari kedua di Pulau Tidung, matahari terbit pendarkan cahaya keemasan. Ternyata, dini hari tadi sempat turun hujan. Syukurlah, saat pagi menyergap, hujan telah meresap kembali ke tanah. Rasanya, memang tak ada mendung di Pulau Tidung.
Siang ini, saya dan teman-teman saya harus bersiap kembali ke Muara Angke. Sebetulnya, saya masih betah berada di pulau ini. Tapi, sesuai jadwal kegiatan, kami hanya memiliki kesempatan satu malam berada di sini.
Mengisi waktu pagi hingga siang, saya dan teman-teman kembali ke area Jembatan Cinta dengan mengendarai sepeda. Teman saya, Vian dan Dwi, menyempatkan diri untuk bermain perahu kano. Sementara, yang lainnya sekadar duduk-duduk di atas jembatan dan berfoto.
Langit biru jadi payung termegah kami siang itu. Angin laut lalu-lalang melintas menerpa tubuh kami yang tak henti-hentinya bercanda.
Di bawah jembatan, Vian dan Dwi ternyata sedang adu cepat mendayung kano dengan seorang anak kecil. Payahnya, mereka berdua dikalahkan oleh anak kecil itu. Haha.
Arief, Puteri, dan Sri berjalan menyusuri jembatan sampai ke bagian lain Pulau Tidung. Yang lainnya, tetap berada di tengah-tengah jembatan.
Saya duduk di salah satu sisi jembatan yang menghadap ke arah utara. Di hadapan saya, warna biru yang bergradasi dengan warna hijau terbentang luas. Semua itu berpadu serasi dengan warna khas langit cerah berhias awan nimbus yang bergerak beriringan.
Saya berandai-andai, di Kota Jakarta ada spot istimewa ada spot seperti ini. Tetapi, rasanya mustahil. Bahkan, di salah satu tempat di Kota Jakarta yang dielu-elukan sebagai objek wisata berpantai, ternyata hanya ada laut berwarna cokelat gelap yang membuat saya merinding saat melihat orang-orang bergembira berenang di situ.
Tetapi, itulah kadar kebahagiaan. Setiap orang punya takarannya masing-masing dan dari waktu ke waktu takaran itu akan berubah sesuai dengan perubahan dinamis yang terjadi pada setiap diri seseoang. Contohnya saya. Dulu, mungkin lautan butek seperti yang ada di Ancol sudah cukup untuk mengobati rasa haus saya untuk bertemu dengan laut. Tapi, sekarang, ada banyak hal yang ingin saya lihat dan ingin saya sambangi. Dan di Pulau Tidung ini saya merasakan kebahagiaan yang baru, yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Apapun itu, yang jelas, Pulau Tidung memang layak untuk dikunjungi. Dan saya berharap, di kemudian hari, kelestarian tempat ini tetap bisa dijaga, dan diiringi oleh peningkatan infrastruktur sehingga banyak orang yang ingin datang dan selalu ingin kembali ke tempat ini.
Waktu kepulangan semakin mendekat. Beberapa di antara kami, ada yang sudah pulang duluan ke penginapan untuk bersiap-siap. Sementara, saya dan beberapa teman saya, menyempatkan diri untuk menyantap mie instan dan nyruput es kelapa segar khas Pulau Tidung.
Setelah selesai, kami pun meluncur dengan sepeda masing-masing menuju penginapan. Lalu, kami bersiap-siap dan berkumpul di dekat dermaga.
Kapal tiba. Saya akan berhadapan dengan tiga setengah jam di atas lautan untuk kedua kalinya. Kali ini, saya memilih untuk berada di atap kapal sepanjang perjalanan bersama sahabat-sahabat saya. Untuk melindungi wajah dari hujaman sinar matahari, saya menutupinya dengan sebuah syal biru.
Perlahan, kapal melaju meninggalkan laut berwarna biru, menuju laut gelap yang menyambut kami di Kota Jakarta. Begitu juga dengan langit yang tadinya biru, kini berangsur jadi gelap dan mendung.
Dari kejauhan, gedung-gedung tinggi khas Jakarta mulai tampak. Itu tandanya kami hampir tiba dan harus bersiap untuk mengembara di belantara kota sesuai dengan porsi peran kami masing-masing.
Di Muara Angke saya kembali memijakkan kaki. Saya menatap ke arah laut. Sama sekali tak ada tanda-tanda Pulau Tidung. Pulau itu berhasil menciptakan kesan di benak saya bahwa tak ada awan mendung di Pulau Tidung.
^^
Sesekali saya merasa ada sengatan-sengatan kecil saat sedang berenang. Rasanya perih seperti digigit semut. Tapi, sampai sekarang saya belum tahu kenapa, dan saya masih berasumsi itu adalah reaksi dari kulit yang bersentuhan dengan air laut.
Setelah puas snorkeling di dua spot berbeda, kami segera kembali ke kapal, lalu meluncur menuju Pulau Payung Besar untuk beristirahat dan ngemil sore. Di pulau ini, banyak sekali terdapat penjual makanan. Laut di sekitarnya pun biru kehijauan. Jadi, ngemil sore sambil menikmati pemandangan laut yang indah merupakan salah satu pilihan tepat untuk dilakukan di tempat ini.
Dari Pulau Payung Besar, perahu yang kami tumpangi segera membawa kami kembali ke Pulau Tidung. Masih jam setengah lima sore, ada waktu sekitar satu jam untuk bermain-main di sekitar Jembatan Cinta. Jangan tanyakan saya, kenapa namanya Jembatan Cinta ya. Hehe.
Di sekitar jembatan cinta ada banyak sekali wahana yang layak dicoba. Ada banana boat, cano, dan ada wahana gratis, yaitu melompat dari atas Jembatan Cinta dengan ketinggan sekitar 7 s.d. 10 meter.
Beberapa teman saya sudah melompat dari atas jembatan itu secara bergantian. Tentu saja saya jadi penasaran ingin mencoba juga. Tetapi, saya harus bertempur dulu dengan rasa takut yang menyebalkan. Sesampainya di atas jembatan, saya merasa diri saya terbagi menjadi dua sisi. Satu sisi begitu kuat ingin melompat, tetapi di sisi lain, saya ingin berontak agar tidak jadi melompat. Akhirnya, setelah berkali-kali batal melompat dengan adegan yang mirip seperti dalam serial Mr. Bean episode melompat di kolam renang, akhirnya saya melompat..... dan ketagihan. Yups, ternyata sangat mengasikkan.
Setelah itu, saya dan teman-teman bermain banana boat. Permainan yang sekarang sudah menjadi hal yang tidak aneh lagi ini, memang sangat menyenangkan, apalagi jika dimainkan dengan keluarga atau sahabat kita.
Lalu, tak terasa keriangan di benderang hari harus usai seiring dengan terbenamnya matahari. Tetapi, bukan berarti setelah malam nanti tak ada keriangan yang menyelimuti saya dan teman-teman.
Dari area Jembatan Cinta, kami kembali ke dermaga, masih dengan kapal yang sama. Setelah itu, kami pulang untuk bersih-bersih dan istirahat sejenak, lalu makan malam bersama di penginapan.
Sekitar satu jam setelah makan malam, saatnya acara panggang ikan. Tour guide kami ternyata memfasilitasi kami dengan sepeda. Dengan sepeda itulah kami meluncur berbondong-bondong menuju suatu area kebun untuk bakar ikan. Yummy.
Setelah acara bakar ikan selesai, kami pun kembali ke penginapan. Ada yang langsung beristirahat, ada yang ngobrol-ngobrol dulu, sementara saya menyempatkan diri jalan-jalan di sekitar perkampungan Pulau Tidung. Setelah puas dan pegal kaki, saya kembali ke penginapan, lalu merebahkan diri di samping teman-teman saya yang sudah ngorok, dan... ZZzzzzzzzzzzZZZZz.....
Hari kedua di Pulau Tidung, matahari terbit pendarkan cahaya keemasan. Ternyata, dini hari tadi sempat turun hujan. Syukurlah, saat pagi menyergap, hujan telah meresap kembali ke tanah. Rasanya, memang tak ada mendung di Pulau Tidung.
Siang ini, saya dan teman-teman saya harus bersiap kembali ke Muara Angke. Sebetulnya, saya masih betah berada di pulau ini. Tapi, sesuai jadwal kegiatan, kami hanya memiliki kesempatan satu malam berada di sini.
Mengisi waktu pagi hingga siang, saya dan teman-teman kembali ke area Jembatan Cinta dengan mengendarai sepeda. Teman saya, Vian dan Dwi, menyempatkan diri untuk bermain perahu kano. Sementara, yang lainnya sekadar duduk-duduk di atas jembatan dan berfoto.
Langit biru jadi payung termegah kami siang itu. Angin laut lalu-lalang melintas menerpa tubuh kami yang tak henti-hentinya bercanda.
Di bawah jembatan, Vian dan Dwi ternyata sedang adu cepat mendayung kano dengan seorang anak kecil. Payahnya, mereka berdua dikalahkan oleh anak kecil itu. Haha.
Arief, Puteri, dan Sri berjalan menyusuri jembatan sampai ke bagian lain Pulau Tidung. Yang lainnya, tetap berada di tengah-tengah jembatan.
Saya duduk di salah satu sisi jembatan yang menghadap ke arah utara. Di hadapan saya, warna biru yang bergradasi dengan warna hijau terbentang luas. Semua itu berpadu serasi dengan warna khas langit cerah berhias awan nimbus yang bergerak beriringan.
Saya berandai-andai, di Kota Jakarta ada spot istimewa ada spot seperti ini. Tetapi, rasanya mustahil. Bahkan, di salah satu tempat di Kota Jakarta yang dielu-elukan sebagai objek wisata berpantai, ternyata hanya ada laut berwarna cokelat gelap yang membuat saya merinding saat melihat orang-orang bergembira berenang di situ.
Apapun itu, yang jelas, Pulau Tidung memang layak untuk dikunjungi. Dan saya berharap, di kemudian hari, kelestarian tempat ini tetap bisa dijaga, dan diiringi oleh peningkatan infrastruktur sehingga banyak orang yang ingin datang dan selalu ingin kembali ke tempat ini.
Waktu kepulangan semakin mendekat. Beberapa di antara kami, ada yang sudah pulang duluan ke penginapan untuk bersiap-siap. Sementara, saya dan beberapa teman saya, menyempatkan diri untuk menyantap mie instan dan nyruput es kelapa segar khas Pulau Tidung.
Setelah selesai, kami pun meluncur dengan sepeda masing-masing menuju penginapan. Lalu, kami bersiap-siap dan berkumpul di dekat dermaga.
Kapal tiba. Saya akan berhadapan dengan tiga setengah jam di atas lautan untuk kedua kalinya. Kali ini, saya memilih untuk berada di atap kapal sepanjang perjalanan bersama sahabat-sahabat saya. Untuk melindungi wajah dari hujaman sinar matahari, saya menutupinya dengan sebuah syal biru.
Perlahan, kapal melaju meninggalkan laut berwarna biru, menuju laut gelap yang menyambut kami di Kota Jakarta. Begitu juga dengan langit yang tadinya biru, kini berangsur jadi gelap dan mendung.
Dari kejauhan, gedung-gedung tinggi khas Jakarta mulai tampak. Itu tandanya kami hampir tiba dan harus bersiap untuk mengembara di belantara kota sesuai dengan porsi peran kami masing-masing.
Di Muara Angke saya kembali memijakkan kaki. Saya menatap ke arah laut. Sama sekali tak ada tanda-tanda Pulau Tidung. Pulau itu berhasil menciptakan kesan di benak saya bahwa tak ada awan mendung di Pulau Tidung.
^^
Sumber gambar: dokumentasi Ighiw, Edo, dan Dwi
Comments
Post a Comment